Selasa, 20 Januari 2009

Makalah Utang Luar Negeri

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, ingin mencoba untuk dapat membangun bangsa dan negaranya sendiri tanpa memperdulikan bantuan dari negara lain. Tentu ini pernah dicoba. Namun ternyata Indonesia sulit untuk terus bertahan ditengah derasnya laju globalisasi yang terus berkembang dengan cepat tanpa mau menghiraukan bangsa yang lain yang masih membangun. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia akhirnya terpaksa mengikuti arus tersebut, mencoba untuk membuka diri dengan berhubungan lebih akrab dengan bangsa lain demi menunjang pembangunan bangsanya terutama dari sendi ekonomi nasionalnya. Menurut Boediono (1999:22), pertumbuhan ekonomi merupakan tingkat pertambahan dari pendapatan nasional. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan merupakan ukuran keberhasilan pembangunan. Indonesia sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup menjanjikan pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yang terus meningkat, angka kemiskinan yang cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun, pada satu titik tertentu, perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan tingginya angka inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar. Adanya kerapuhan Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya dukungan mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat diselesaikan sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terlalu tinggi di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif, jiwa entrepreneurship yang kurang, dan sebagainya (Anggito Abimanyu. 2000:8).

Meningkatnya pertumbuhan investasi di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang No.1 / tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan Undang-Undang No.6 / tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi di Indonesia dari waktu ke waktu yang kemudian menciptakan iklim investasi yang kondusif selama proses pembangunan di Indonesia.

Arus masuk modal asing (capital inflows) juga berperan dalam menutup gap devisa yang ditimbulkan oleh defisit pada transaksi berjalan. Selain itu, masuknya modal asing juga mampu menggerakkan kegiatan ekonomi yang lesu akibat kurangnya modal (saving investment gap) bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Modal asing ini selain sebagai perpindahan modal juga dapat memberikan kontribusi positif melalui aliran industrialisasi dan modernisasi. Akan tetapi apabila modal asing tersebut tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif yang besar terutama apabila terjadinya capital flows reversal (Zulkarnaen Djamin, 1996: 26).

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa utang luar negeri turut mendukung terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada dasarnya, dalam proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti di Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar. Hal tersebut disebabkan tabungan dalam negeri yang rendah tidak memungkinkan dilakukannya investasi yang memadai sehingga banyak pemerintah negara yang sedang berkembang harus menarik dana dan pinjaman dari luar negeri. Selain itu, defisit pada neraca perdagangan barang dan jasa yang tinggi berhubungan juga dengan dilakukannya impor modal untuk menambah sumber daya keuangan dalam negeri yang terbatas. Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi. Pada pertengahan dekade 1980-an, modal asing yang masuk ke Indonesia masih didominasi oleh investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri (terutama pinjaman pemerintah). Baru setelah pemerintah melakukan deregulasi di sektor keuangan/perbankan yang dimulai sejak awal 1980-an, yang antara lain membuat sektor tersebut, termasuk pasar modal, berkembang dengan pesat, arus modal swasta jangka pendek dari luar negeri mulai mengalir ke dalam negeri.

BAB II

PEMBAHASAN

Semenjak merdeka 1945 hingga 1966 atau selama pemerintahan orde lama, ekonomi Indonesia yang bercorak agraris terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan atau terjerat dalam vicious circle (pendapatan rendah karena baru merdeka, hasrat konsumsi tinggi, kemampuan menabung rendah, tingkat investasi rendah, dan akibatnya pendapatan kembali rendah, dan seterusnya berulang-ulang) sehingga, pada akhirnya Indonesia tetap miskin. Oleh karena itu sejak pemerintahan Orde Baru, sejak 1966, dengan dipelopori oleh putera-putera terbaik Indonesia yang waktu itu terkenal sebagai Mafia Berkley, pemerintah berusaha memutus mata rantai vicious circle dengan melakukan pembangunan besar-besaran ( the big push theory) dengan cara membuka penanaman modal asing masuk ke Indonesia, mengundang PMA masuk, dan meminjam ke luar negeri (Bank Dunia, IMF, IRBD, dll.). Alasannya bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan dengan mengharapkan pertumbuhan tabungan masyarakat yang terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan. Perlu dilakukan investasi besar-besaran meskipun harus meminjam ke luar negeri. Diawali dengan mengeluarkan Undang-undang PMA 1967 dan melalui berbagai negosiasi dengan negara-negara maju, melalui IGGI, dan terakhir dari CGI, pinjaman luar negeri masuk untuk membiayai pembangunan Indonesia, yang sampai saat ini masih berlangsung.

Secara teoritis alasan negara-negara maju untuk menyetujui pemberian pinjaman untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah untuk menciptakan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dan itu mungkin dicapai jikalau proyek-proyek pembangunan tersebut telah diuji kelayakannya, baik dari aspek teknologi, komersil, keuangan, ekonomi makro, manajemen, maupun dari aspek dampak lingkungan. Dengan perkataan lain semua dana pinjaman dari luar negeri tersebut seyogianya dapat diukur efektivitas dan efisiensinya. Struktur utang luar negeri Indonesia telah banyak mengalami perubahan selama tiga puluh tahun terakhir. Pada awalnya, sebagai negara yang baru berkembang, utang luar negeri Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta pinjaman lunak dan setengah lunak dari negara-negara sahabat dan lembaga supranasional, baik secara bilateral maupun multilateral. Dengan berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman yang bersyarat lunak menjadi semakin terbatas sehingga pemerintah untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang terbatas, mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional. Selanjutnya, dengan semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah, peran swasta dalam perekonomian semakin meningkat. Hal ini berkaitan erat dengan langkah-langkah deregulasi diberbagai bidang yang ditempuh pemerintah terutama sejak tahun 1980-an. Besarnya minat investasi swasta, sementara sumber-sumber dana dalam negeri terbatas, telah mendorong swasta melakukan pinjaman ke luar negeri, baik dalam bentuk penanaman modal langsung dan pinjaman komersial maupun investasi portofolio dalam bentuk surat-surat berharga yang diterbitkan oleh swasta domestik. Persyaratan pinjaman luar negeri swasta, baik suku bunga maupun jangka waktu pada umumnya tidak lunak.
Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkakan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah karena ekonomi nasional terlalu tergantung terhadap pinjaman luar negeri.

Pantaskah kita menjadi negara miskin, mendekati negara-negara Afrika seperti Etiopia, Somalia, dan Sudan atau negara gurun pasir lainnya? Rasanya tak pantas, terutama bila ditilik dari posisi geografis dan lingkungan alamnya. Hamparan pantai yang mengelilingi semua pulau baik besar maupun kecil memperlihatkan betapa elok dan subur tanah ini. Sumber daya alam tambang, mineral, minyak dan hasil hutan ditambah jumlah penduduk yang besar, sebagai kekuatan produktif yang mampu mengolah dan menjadikan dasar untuk kemakmuran rakyat. Indonesia Sebagai Negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil dengan Luas daratan 1.904.345 kilometer persegi sama dengan 5 kali luas Jepang, 57 kali luas negeri Belanda dan 3,5 luas Prancis. Jarak antara ujung paling barat dan ujung paling timur tidak kurang dari 3.500 Km, hampir sama dengan ujung pantai barat Amerika serikat sampai ujung timurnya, atau dibanding Eropa sama dengan ujung pantai barat inggris sampai pegunungan kaukasus di timur Eropa. Indonesia dikelilingi dua Samudera yaitu Samudera Pasifik, Hindia dan ditambah lautan Cina selatan. Indonesia adalah penghubung antara benua Australia dan benua Asia. Dengan kedudukan geografi yang seperti itu maka wajar bila Indonesia menjadi penting dalam lalu lintas ekonomi dan politik dunia. Dalam sensus tahun 2000 mencatat penduduk Indonesia berjumlah 203.456.005 jiwa. Terdiri dari 101.641.570 laki-laki dan 101.814.435 perempuan. laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,35% menurut sensus penduduk tahun 1990. prosentase jumlah penduduk pulau Jawa 59,19% atau 120.425.606 jiwa, pulau Sumatera 20,97% atau 42.664.725 jiwa, pulau Kalimantan 7,10% atau 14.445.376 jiwa, Sulawesi 7,10% atau 14.445.376 jiwa. Tergambarkan sudah bahwa negeri ini sangat potensial untuk menjadi negeri yang makmur dan maju, bukannya menjadi negeri yang penuh wajah kemiskinan dan keterpurukan rakyatnya. Tetapi yang kita lihat adalah kehidupan rakyat dalam garis yang jauh dari hidup layak atau lebih tepat sangat-sangat miskin. Upah buruh yang sangat murah, buruh tani semakin miskin karena tanah yang sempit, pengangguran semakin besar jumlahnya, anak buruh, tani, nelayan dan kaum miskin kota tak mampu sekolah karena mahalnya biaya pendidikan dan ketika sakit hanya bisa pasrah karena mahalnya biaya beli obat serta rumah sakit.

Dewasa ini kita sering mendengar sosialisasi yang dilakukan pemerintah tentang pengentasan kemiskinan. Dari mulai iklan Televisi, Radio sampai berita di koran. Jargon dan slogan melawan kemiskinan seolah menyihir rakyat Indonesia. Pertanyaan yang muncul dibenak kita adalah pemerintah akan melakukan apalagi, selama ini bukannya uang yang harusnya untuk rakyat banyak dihamburkan tidak jelas. Reformasi yang diharapkan mampu merubah nasib kehidupan rakyat dari keterpurukan malah masuk pada lingkaran benang kusut yang tak terurai. Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia belumlah terlepas dari jerat kekuatan imperialisme. Kolonialisme atau penjajahan memang sudah tidak tampak secara nyata dalam bentuk fisiknya. Tetapi penjajahan bentuk baru dalam bentuk yang kini kita rasakan seperti tertutup tabir yang seolah rumit untuk disingkap.

Berbagai cara dilakukan oleh bangsa asing atau para kapitalis untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia, salah satunya adalah dengan menyebabkan Indonesia tergantung pada utang luar negeri. Utang luar negeri saat ini sudah menjadi masalah strategis yang harus dihadapi bangsa Indonesia, Jika kita perhatikan lebih seksama dan mendalam, adanya utang yang sangat besar tersebut merupakan suatu ancaman terhadap stabilitas ekonomi bangsa Indonesia jika tidak dikelola dengan baik. Dengan adanya utang tersebut bangsa Indonesia memiliki ketergantungan ekonomi terhadap bangsa lain, belum lagi penambahan bunga yang harus disertai pada saat pelunasan utang akan semakin mencekik perekonomian bangsa Indonesia.

Pemerintah sangat tergantung pada IMF, world bank dan Negara pemberi hutang lainnya seperti Amerika, Jepang, Belanda, Jerman dan Canada. Besarnya jumlah hutang Indonesia membuat pemerintah menjadi boneka kepanjangan tangan dari kepentingan mereka. Hampir semua undang-undang yang diusulkan pemerintah adalah usulan dari IMF atau negeri pemberi hutang. UU PMA dan UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan misalnya memberi keleluasaan pada majikan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja serta dipermudahnya tenaga kerja kontrak. Kebijakan flexibilitas tenaga kerja sangat menguntungkan pemilik modal. Flexibilitas artinya perubahan dari sistem kerja tetap menjadi kontrak atau outsorching ( yayasan penyalur tenaga kerja ).

Lahirnya UUK 13/2003, merupakan satu paket dengan UU 21/2000 dan UU PPHI No.02 tahun 2004. seperti kita telah pahami bersama merupakan turunan/bagian dari UU PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) yang menjadi program Neo Liberalisme/globalisasi atau kapitalisme. UU Propenas memakai konsep yang diberikan oleh IMF, World Bank dan RDA (Regional Devolepment Agency) dengan dalih mengentaskan krisis ekonomi di Indonesia.

UU PROPENAS merupakan kelanjutan dan penegasan/penguatan dari UU PMA tahun 1967(dan disahkannya UU PMA pada 29 april 2007) dan hal tersebut berarti pemerintah Indonesia telah melakukan kebijakan antara lain :

1. Sumber daya alam diserahkan pengelolaannya kepada modal asing

2. Militer harus menjaga kegiatan operasi modal asing

3. Rakyat harus bekerja mengikuti ketentuan-ketentuan modal asing

4. Membuka pasar bebas bagi hasil industri modal asing

5. Menyediakan buruh murah bagi modal asing

Kebijakan pemerintah sangat mendukung pada pemilik modal bisa kita urutkan dari kebijakan upah murah pada level upah minimum kota ( UMK ) sampai upah minimum propinsi ( UMP ) yang jauh lebih kecil dan komponen penghitungan upah yang katanya berstandar layak tetapi sesungguhnya jauh dari layak. Protes terhadap kebijakan upah murah tidak pernah ditanggapi serius oleh pemerintah daerah maupun pusat. Karena alasan mereka agar investor tertarik menanamkan investasinya. Jadi jelas sekali yang ditawarkan pertama ke pihak penanam modal oleh pemerintah kita adalah buruh Indonesia di upah murah. Upah murah sama dengan model perbudakan modern, karena buruh hanya mendapat upah sebagai imbalan dan bukan hak. Itupun hanya cukup untuk hidup sangat pas-pasan apalagi untuk keluarga.

Industri nasional Indonesia tidak berpijak pada kekuatan yang sebenarnya nyata untuk mensejahterakan rakyat. hendaknya penguatan industri dasar berdasar sumber daya alam yang tersedia dan kekuatan geografi Indonesia sebagai negeri maritime dan agraris yang terjadi adalah kebijakan ekonomi makro baik fiskal, moneter, investasi maupun perdagangan yang kurang, bahkan sama sekali tidak memihak dan mengorbankan kepentingan pembangunan sektor pertanian dan kelautan. Kebijakan yang diterapkan terlalu bias perkotaan, jasa dan industri, seperti otomotif, petrokimia, tekstil, baja, properti, dll dan terus mendorong proses konglomerasi yang merapuhkan fondasi perekonomian nasional.

Industri nasional kita tidak untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dan industri yang dikembangkan adalah industri yang dicangkokan oleh pemodal asing atau atas pesanan asing untuk pemenuhan pasar eksport seperti tekstil, pakaian, elektronik, perakitan otomotif dan sepatu yang hampir semuanya dengan bahan baku import. Yang terjadi adalah sebaliknya, industri dasar yang menjadi kekuatan penting malah dikuasai oleh perusahaan international seperti minyak, tambang, energi dan ketika bangsa ini membutuhkan harus import dari perusahaan internasional.

Apakah ada hubungan antara utang luar negeri dengan ekonomi rakyat? Jawabannya tentu saja tidak bisa dikatakan tidak karena utang pemerintah pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah berperan sebagai faktor, yang mengganggu APBN. Bahkan faktor gangguan yang berasal dari utang luar negeri tersebut sudah menampakkan signal negatif pada pertengahan 1980-an ketika terjadi transfer negatif. Utang pokok dan bunga yang dibayar kepada negara donor dan kreditor ketika itu sudah lebih besar dari utang yang diterima oleh pemerintah.

Hubungan utang dengan ekonomi rakyat terlihat pada dimensi APBN sekarang ini, yang sulit dijelaskan sebagai bentuk anggaran suatu pemerintahan yang normal. APBN dengan beban utang yang berat, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri, merupakan simbol ketidakwajaran dari instrumen kebijakan ekonomi negara ini. Dalam keadaan seperti ini, maka ekonomi masyarakat sangat terganggu.

Pada satu sisi, utang luar negeri Indonesia sudah menjadi beban kronis dari APBN sehingga anggaran negara tersebut tidak memiliki ruang yang memadai untuk manuver. Anggaran pengeluaran habis terkikis oleh pengeluaran untuk utang luar negeri. Dengan demikian, APBN Indonesia sudah menjadi instrumen yang sulit bergerak, kartu mati, dan bahkan mengganggu ekonomi nasional secara keseluruhan.

Pada sisi lain, APBN sendiri merupakan instrumen kebijakan pemerintah, yang sangat penting. Tetapi sekarang instrumen tersebut sudah menjadi kartu mati, yang tidak bisa dipakai secara leluasa untuk kepentingan ekonomi masyarakat luas, termasuk kepentingan ekonomi rakyat.

Rasio Utang Indonesia terhadap pendapatannya (PDB) bukan hanya melewati batas aman sekitar 50 persen, tetapi telah melewati rekor negeri miskin dimanapun di dunia ini. Bayangkan, rasio utang terhadap pendapatannya mencapai tidak kurang dari 120 persen. Itu berarti bahwa pendapatan seluruh penduduk selama setahun tidak cukup untuk utang tersebut.

Setiap penduduk kini memiliki utang luar negeri tidak kurang dari 750 sampai 800 dollar AS. Itu juga berarti bahwa setiap keluarga menanggung beban utang sekitar 4000 dollar AS. Sementara itu, pendapatannya rata-rata hanya sekitar 600 dollar AS per kapita atau sekitar 3000 dollar AS per keluarga. Jadi, utangnya jauh lebih banyak dari pada pendapatan rata-rata setiap penduduk selama setiap setahun.

Negara - negara Amerika Latin, yang dianggap sebagai model kelompok negara yang terjebak utang (“debt trap”), hanya mempunyai rasio utang terhadap PDB antara 30-40 persen. Angka ini sudah dianggap gawat dan pemerintah di negara-negara ini sudah merasa perlu melakukan langkah-langkah politik terhadap anggarannya.

Indikator utang Indonesia pasca krisis lebih buruk dari kelompok negara Amerika Latin tersebut. Negeri ini memiliki sudah rasio utang terhadap PDB sampai 130 persen. Tetapi pemerintah, Tim Ekonomi, Menteri Keuangan sangat merasa biasa dan tidak perlu usul pemotongan utang (“haircut”) atau langkah-langkah lain, yang dapat meringankan rakyat. Seolah-olah tidak ada apa-apa dan kebijakan utang dijalankan seperti masa normal. Pembayaran utang apa adanya diajukan ke DPR dengan konsekwensi menguras anggaran dengan jumlah pengeluaran yang begitu besar.

Karenanya, pemerintah mengajukan usul kepada DPR untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang tidak kurang dari 70 trilyun. Sementara itu, utang yang hendak diperoleh dari kreditor hanya 34,7 trilyun rupiah. Jadi, ada defisit atau “negatif outflow” tidak kurang dari 35 trilyun rupiah. Sementara itu, anggaran pembangunan langsung yang diharapkan dapat dinikmati masyarakat hanya 47,1 trilyun rupiah atau 14 persen saja terhadap total belanja negara. Jadi, APBN ini betul-betul habis hanya untuk bayar utang, bayar gaji pegawai negeri yang tidak produktif, dan menambal subsidi.

Dalam kondisi sangat darurat ini, maka DPR tidak bisa lagi hanya berbicara dengan retorika anggaran berdasarkan pembukuan biasa, tetapi sudah sangat perlu berbicara dengan nurani. Apakah layak hak rakyat terhadap anggaran musnah untuk membayar utang tersebut? Jadi, mesti dihindari kegenitan retorika teknokrat yang hampa politik, dengan mengajukan secara tegas keputusan yang berpihak pada rakyat.

Dalam rangka menyelamatkan APBN, maka pemerintah bersama DPR harus mengambil keputusan-keputusan yang penting. Keputusan tersebut perlu dilakukan berdasarkan kepentingan masyarakat luas, termasuk di dalamnya hak ekonomi rakyat.

Keputusan pertama dan utama adalah pernyataan politik secara formal bahwa anggaran sudah gawat dan telah melanggar batas-batas hak ekonomi rakyat atas anggaran yang terkuras untuk membayarnya. Utang yang dibuat oleh rezim yang korup di masa lalu tidak bisa dibayar begitu saja. Rakyat harus dibela hak-haknya untuk mendapatkan kucuran anggaran pembangunan yang layak.

Keputusan kedua adalah menetapkan pengurangan pembayaran utang setidaknya separuh dari yang diajukan pemerintah dari hampir 70 trilyun rupiah (cicilan pokok 41,5 trilyun rupiah, cicilan bunga 27,4 trilyun rupiah) menjadi 30 trilyun rupiah. Keputusan ini diminta untuk dilanjutkan oleh pemerintah dengan diplomasi ekonomi kepada negara kreditor, dengan menyampaikan aspirasi rakyat, yang disalurkan oleh DPR.

Keputusan ketiga, meminta pemerintah (tim ekonomi) secara kreatif untuk mengurangi pembayaran utang melalui berbagai kombinasi kebijakan (diplomasi ekonomi), yakni : a) diplomasi penjadwalan ulang dengan kreditor, b) mengusulkan skema-skema “Debt equity swap” (untuk lingkungan, program kemiskinan, kemanusiaan, dll), c) mengajukan pemotongan utang (karena Indonesia tanpa Jakarta sudah miskin berat).

Keputusan keempat, panitia anggaran mengalokasikannya untuk keperluan-keperluan yang sangat penting bagi pembangunan masyarakat. Dengan demikian, maka anggaran pembangunan langsung bisa ditingkatkan lebih besar lagi, termasuk mengurangi defisit.

Jika tim ekonomi tidak mampu, maka DPR dan partai-partai memikir ulang posisi eksekutif, yang bertanggung jawab terhadap bidang ekonomi dan fiskal ini. Sebaiknya diminta orang-orang yang berkemampuan politik dan diplomasi ekonomi yang baik, dalam rangka keberpihakkan kepada rakyat.

Peningkatan pajak sulit bermanfaat jika harus dimasukkan pada APBN yang bocor. Rasio pajak terhadap PDB juga telah meningkat, sampai 13 persen, tetapi hanya tersisa sangat sedikit untuk pembangunan langsung. Masyarakat kehilangan haknya atas anggaran publik sehingga akses terhadap program kesehatan, pendidikan, pangan dan infrastruktur sosial lainnya berkurang sangat drastis.

Peningkatan deviden BUMN untuk APBN sama saja. Sumbangan trilyunan rupiah untuk APBN terkuras untuk membayar utang luar negeri, yang jumlahnya tidak kurang dari 70 trilyun (cicilan pokok dan bunga). Jumlah ini sudah memperhitungkan kemungkinan penjadwalan utang. Jika angka penjadwalan diperhitungkan, maka beban utang luar negeri yang jatuh tempo diperkirakan mencapai 100 trilyun. Belum lagi beban utang domestik dan pengeluaran rutin lainnya, yang tidak bisa dihindari. Jadi, kunci persoalan adalah beban utang luar negeri, yang telah melampaui batas kemampuan suatu negara untuk melayaninya. Bahkan jumlah beban pembayaran utang tersebut telah memasung hak ekonomi masyarakat luas atas anggaran publiknya.

Pemerintah telah bermain-main dengan nasib rakyat, yang mutlak mempunyai hak terhadap anggaran publik tersebut. Tetapi praktek kebijakan publik dan implementasi anggaran dari regim yang korup telah menghilangkan kesempatan tersebut. Tim ekonomi hanya mempunyai visi teknis fiskal belaka, bahwa utang itu merupakan kewajiban negara untuk membayarnya. Padahal, kerugian paling besar terbebankan kepada masyarakat luas.

Tidak ada sama sekali visi ekonomi politik dari tim ekonomi pemerintah untuk membela kepentingan masyarakat luas, dengan cara membebaskan sebagian beban utang, yang merupakan produk dari praktek kebijakan yang disortif dan praktek korupsi yang meluas pada masa rezim yang lalu. Korupsi di sini termasuk birokrat asing, yang juga sangat menikmati keuntungan super normal dari proyek-proyek utang luar negeri, yang biasa di-“mark up”. Usaha diplomasi untuk membagi beban resiko di masa lalu tidak dilakukan sehingga resiko kesalahan rancangan utang dan kesalahan prakteknya di lapangan hanya dibebankan kepada pihak Indonesia.

Negara dan masyarakat mempunyai hak untuk tidak membayar sebagian utang tersebut karena penyimpangan yang dilakukan dalam keputusan kebijakan dan implementasinya di lapangan. Tetapi pembelaan atas kesalahan kebijakan publik ini tidak nyata sehingga pembahasan berjalan apa adanya.

Pendekatan para teknokrat hanya bersifat teknis fiskal belaka, dengan akibat yang mesti ditanggung oleh masyarakat luas. Padahal masalahnya adalah “political economy”, yang harus dijalankan dengan tindakan politik, diplomasi ekonomi, dan bahkan tindakan kolektif dari “stake holders”, yang berkepentingan terhadap APBN.

Jika transaksi utang individu perusahaan, maka kewajiban pihak yang melakukan transaksi membayarnya. Transaksi utang individu ini berbeda dengan transaksi utang publik dimana pihak yang tidak memutuskan ikut menanggung resiko dan beban atas kesalahan pengambilan keputusan tersebut. Karena itu, syarat adanya transaksi pada domain publik adalah transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi.

Utang luar negeri adalah keputusan politik, yang berada pada domain publik. Ini berbeda dengan transaksi individu atau pertukaran swasta. Pada kebijakan publik prasyarat-prasyarat keterbukaan, transparansi, demokrasi dan tahapan yang baik merupakan bagian dari elemen yang penting. Jika prasyarat itu tidak ada, maka transaksi tersebut pasti merugikan publik. Utang luar negeri juga merupakan keputusan publik, yang prasyarat-prasyaratnya sangat tidak memenuhi standar, tetapi dijalankan dengan pola pemerintahan yang tertutup dan otoriter.

Potensi untuk memperbaiki mekanisme kebijakan publik tersebut mati karena sifat pemerintahan, yang sangat represif. Akibatnya, ribuan proyek yang berjalan dengan anggaran dari utang luar negeri sangat penuh dengan praktek korupsi, “mark up”, dan perburuan rente. Proyek-proyek menjadi tidak efisien dan negara menanggungnya dengan beban pembayaran yang mahal dan mencekik tadi.

Transaksi publik yang menyimpang dan dinodai praktek korupsi pemerintah dan birokrasi dapat dituntut untuk tidak dibayar begitu saja. Dalam kasus utang luar negeri, praktek korupsi juga dilakukan oleh birokrat asing dan perusahaan pelaksananya. Publik dan masyarakat luas memiliki hak untuk melindungi anggarannya dari praktek seperti itu.

Jika itu dilakukan, maka pemerintah ini tidak jauh berbeda dengan Orde Baru, yang mempermainkan hak rakyat atas anggaran. Resikonya, ekonomi masyarakat, program kesehatan, pendidikan, pembangunan infrastruktur sosial, dan pembangunan lainnya tidak bisa dijalankan.

Pengelolaan Utang Luar Negeri

Dalam kebijakan Pemerintah, terdapat beberapa rekomendasi untuk memberikan arah yang jelas bagi pengelolaan utang luar negeri, antara lain :

  1. Perlunya pengelolaan utang dalam satu atap atau pintu agar semua pinjaman, terutama pinjaman luar negeri, dapat tercatat dengan baik sehingga diketahui rsis berapa beban yang ditanggung Negara. Saat ini manajemen utang ditangani beberapa institusi, yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menko Perekopenomian, dan Bappenas secara parsial
  2. Perlunya segera melepaskan ketergantungan terhadap utang luar negeri secara bertahap. Kebijakan ini dilakukan dengan mengurangi jumlah utang, hal ini akan mengurangi beban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo.
  3. Perlu diciptakan sistem yang terintegrasi dalam pengelolaan utang luar negeri dan utang dalam negeri. Sehingga memungkinkan dilakukannya swap antara utang luar negeri dan utang dalam negeri dalam rangka mencapai biaya dan risiko yang minimal.

Mengingat kompleksitasnya, pengelolaan utang luar negeri maupun dalam negeri hendaknya dapat dikelola dengan lebih serius oleh suatu lembaga khusus. Pengelolaan ini antara lain dapat dengan tujuan: (i) Mengembangkan pasar primer dan sekunder obligasi pemerintah, untuk menurunkan biaya utang khususnya yang bersumber dari luar negeri, (ii) Berkembangnya pasar obligasi pemerintah diharapkan dapat mendorong perkembangan pasar obligasi swasta; dan (iii) Suku bunga utang pemerintah dapat digunakan sebagai benchmark bagi kebijakan moneter sehingga tercipta konsistensi antara kebijakan moneter dan fiskal.

Pengelolaan utang ini meliputi juga hal-hal sebagai berikut :

  1. Melakukan pemantauan (monitoring) dan kajian (assesment) terhadap risiko yang terkandung dalam struktur utang yang ada, dan merekomendasikan perbaikan dalam struktur utang di masa yang akan datang. Secara umum.
  2. Mengelola risiko yang berasosiasi dengan utang dalam mata uang luar negeri dan dalam jangka pendek. Utang dan risiko tersebut diharapkan sesuai dengan arus kas untuk menghindari risiko kegagalan dalam memenuhi kewajiban.
  3. Menjaga transparansi dan akuntabilitas publik. Untuk menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas publik, harus ada keterbukaan atas aspek-aspek penting operasi pengelolaan utang dan informasi mengenai kondisi keuangan pemerintah, aset dan kewajiban pemerintah, dan audit atas seluruh aktivitas pengelolaan utang.

Apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi utang luar negeri ?

- Melalui APBN 2004, Indonesia menggunakan sebagian besar dana RDI untuk membayar utang luar negeri di tahun 2005.

- Adanya Usaha dari mantan Menko kesra di era Abdrahman Wahid Hamzah, ia memberikan ide bahwa “sebagai satu-satunya cara lepas dari jeratan utang adalah menggerakkan potensi dalam negeri sendiri. Langkah itu, bisa dilakukan dengan cara menghimpun dana atau modal nasional. Selain itu, dengan melakukan penarikan dana para pengusaha yang kini masih parkir di luar negeri sekitar USD 100 miliar.''Semua pihak harus berperan dalam menghimpun modal nasional ini,'' tegasnya. Sebagai wujud penghimpunan modal nasional itu, Hamzah mengaku bersedia, gajinya dipotong 25 persen per bulan. Dia berharap, langkah itu, juga diikuti oleh para pejabat lainnya. ''Ini, misalnya presiden menjadi penyelenggaranya, mari kita himpun. Saya rela gaji saya dipotong 25 persen untuk itu,'' tandasnya.

- Adanya Usaha dari Bank Indonesia (BI) dengan mengembalikan seluruh dana pinjaman berjaga-jaga (Stanby Loan) kepada IMF (Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund) pada hari Kamis, 5 Oktober 2006. Pengembalian tersebut mencapai US$ 3,1 miliar ditambah bunga 1 kali pembayaran dan totalnya menjadi US$ 3,2 miliar. Sebelumnya, pada Juni lalu, BI juga sudah mengembalikan sebesar senilai US$ 3,75 miliar. Melihat dasar dari pengembalian pinjaman IMF yang dilakukan BI sebenarnya tidak ada yang istimewa. Pengembalian tersebut mempertimbangkan kecukupan cadangan devisa. Pada akhir September 2006 cadangan devisa Indonesia mencapai US$ 42,350 miliar. Bahkan pada tahun depan diperkirakan cadangan devisa bisa mencapai US$ 43 miliar. Dengan demikian maka dana berjaga-jaga yang bersumber dari utangan IMF tidak diperlukan lagi.

- Pemerintah memperoleh komitmen pembiayaan dari pemerintah Jepang untuk menutupi kebutuhan defisit anggaran hingga lebih dari 1%. Sedangkan, untuk memperkuat cadangan devisa melalui skema ASEAN plus tiga telah siap US$80 miliar. Hal itu diungkap dalam paparan pemerintah yang disampaikan Menteri Keuangan sekaligus Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Komisi XI di Jakarta, Selasa (2/12). Menurutnya, pemerintah telah menggalang pinjaman siaga dengan beberapa negara atau lembaga multilateral. Pinjaman siaga ini ditujukan sebagai alternatif pembiayaan bila utang dalam negeri tidak bisa memenuhinya.

- Adanya usaha di hari Jum`at, 07 November 2008 pada saat Lawatan Direktur Pelaksana IMF, Rodrigo de Rato Figaredo, ke Indonesia beberapa waktu lalu, menyisakan keputusan penting dari pemerintah Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan, tidak lagi berutang kepada IMF dan menyatakan posisi sebagai equal partner. Selain itu, presiden juga mengeluarkan satu kebijakan penting yakni, membubarkan forum Consultative Groups for Indonesia (CGI) sebagai komitmen untuk kemandirian ekonomi bangsa. Sekaligus, mengungkapkan keinginan untuk mengurangi beban utang dan mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri. Keputusan ini, oleh banyak kalangan, dinilai cukup mengejutkan. Mengingat prestasi kebijakan pemerintahan SBY-Kalla selama dua tahun, banyak mengekor pada kepentingan asing. Keputusan mempercepat pelunasan seluruh utang IMF dan membubarkan CGI, sangat tepat secara ekonomi maupun politik. Berdasar pengalaman, utang IMF yang disertai berbagai kebijakan yang tertuang dalam Letter of Intent, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam arus liberalisasi ekonomi yang menjajah dan memiskinkan rakyat. Kondisi tersebut, tercermin dari peningkatan kebangkrutan usaha, kehancuran perbankan nasional, peningkatan pengangguran, serta peningkatan beban utang dalam dan luar negeri dalam selama lima tahun terakhir. Tambahan beban utang dalam dan luar negeri, meningkat menjadi dua kalinya. Kewajiban utang dalam negeri dari semula nol rupiah menjadi Rp 650 triliun (US$ 72 miliar), merupakan bom waktu yang akan menghancurkan perekonomian nasional. Demikian pula peran CGI di Indonesia. Sejak lama, forum kreditor ini telah sangat dalam mengintervensi kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia. Kehadiran Consultative Group on Indonesia (CGI) yang menggantikan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), telah menjerumuskan Indonesia menjadi negara miskin yang terjebak utang. Kreditur yang tergabung dalam CGI, memberlakukan sejumlah persyaratan untuk memperoleh utang baru yang diajukan pemerintah. Persyaratan ini telah mengambilalih kebijakan anggaran negara (APBN) dan kebijakan strategis lainnya yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

- Pertemuan G-8 ke-34 juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk hadir dalam forum tersebut. Tidak hanya di tingkat kepala negara, kelompok G-8 juga telah mengundang Indonesia untuk hadir dalam pertemuan di tingkat menteri yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu. Undangan yang ditujukan untuk Presiden Indonesia pada pertemuan G-8 di Jepang memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mendesakkan kepentingan Indonesia dalam beberapa isu.

a. Pertama, dalam isu krisis energi saat ini dimana Indonesia juga terkena dampaknya maka dibutuhkan kebijakan energi yang lebih berpihak pada kepentingan nasional. Proses ekstraksi sumber daya energi di Indonesia saat ini erat dengan kepentingan negara-negara maju karena 85% struktur produksi migas di Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007). Spekulasi investor di sektor migas yang banyak dilakukan oleh negara-negara maju merupakan penyebab utama tingginya harga minyak internasional saat ini.

b. Kedua, dalam isu krisis pangan tidak semata-mata karena kurangnya pasokan bahan pangan. Liberalisasi pertanian yang didorong atas kepentingan negara-negara maju memberikan kontribusi bagi terjadinya krisis pangan saat ini. Bukan hanya isu food security seperti yang harus didukung oleh kelompok negara maju tetapi kita juga harus mendesakkan upaya untuk mencapai kedaulatan pangan.

c. Kebijakan perdagangan memaksa liberalisasi lebih lanjut atas pasar pangan. Sebagai akibatnya, barang-barang import membanjiri pasar domestik. Krisis pangan dan lingkungan saat ini merupakan hasil dari kontrol rantai pangan dan pertanian yang sangat luas oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan liberalisasi pasar. Hal ini merusak lingkungan, menggantikan pertanian keluarga dengan perkebunan pertanian skla besar. Pangan saat ini berada di tangan para investor dan spekulan. Seluruh kebijakan telah meninggalkan jutaan petani tanpa pendapatan yang layak dan populasi dunia dalam krisis pangan global (La Via Campesina, 2008).

d. Saat ini pemerintah di negara-negar G-8 harus memecahkkan krisis yang mereka ciptakan ketika mereka berpikir bahwa perdagangan bebas dapat mencukupi dan memberi makan dunia. Saatnya telah tiba untuk mengubah kebijakan pertanian menuju produksi pangan skala kecil, kedaulatan pangan dan pasar lokal.

e. Ketiga, dalam isu pemanasan global, upaya untuk mendesak “tanggung jawab” negara-negara maju harus terus dilakukan. Industrialisasi yang ada di negara-negara maju dan juga eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan yang mereka lakukan di negara-negara berkembang merupakan penyebab utama kerusakan lingkungan secara global.

f. Isu genting dalam upaya mengatasi pemanasan global salah satunya adalah pembiayaan mitigasi dan adaptasi. Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang mendorong pembiayaan perubahan iklim melalui mekanisme utang lewat Bank Dunia. Upaya ini adalah merupakan tindakan pengalihan tanggung jawab sekaligus pencarian keuntungan (profiteering) krisis lingkungan tergenting saat ini. Tanggung jawab negara maju dalam pembiayaan mengatasi perubahan iklim tidak boleh dalam rupa utang baru dalam mekanisme apapun. Negara-negara maju harus mengurangi emisinya secara siginifikan sambil membayar pampasan ekologik kepada negara-negara berkembang

g. Keempat, liberalisasi investasi dan privatisasi yang terus didorong oleh negara-negara maju dan juga mulai diterapkan secara masif di Indonesia juga tidak terlepas dari kepentingan negara-negara maju yang membutuhkan “lahan” baru untuk memutar aliran kapitalnya. Kecenderungan kebijakan yang dilakukan di Indonesia justru memilih liberalisasi dan memberikan peluang yang lebih luas bagi ekspansi modal internasional.

h. Beberapa regulasi nasional seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal tahun 2007 justru menjamin kebebasan aliran modal dan investasi asing. Sektor-sektor strategis di Indonesia kini didominasi oleh kepemilikan perusahaan asing. Investasi asing telah menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (Forum Rektor Indonesia, 2007). Pemberlakuan aturan investasi yang baru tersebut membuat Indonesia berada dalam fenomena race to the bottom.

i. Kelima, isu utang yang justru disingkirkan dalam agenda pertemuan G-8 yang akan datang juga harus mendapat perhatian. Tuntutan penghapusan utang bagi Indonesia tidak hanya karena utang tersebut merupakan utang haram (odious debt) tetapi juga karena kebijakan penarikan utang saat ini tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Net negative transfer yang terjadi karena pembayaran berbagai bentuk fee (commitment fee, administration fee, front end fee; dan Agent Fee), pembayaran bunga, dan selisih Net Present Value (NPV) justru lebih membebani masyarakat Indonesia. Pertemuan G-8 yang dihadiri oleh negara-negara kreditor dan IFIs harus dimanfaatkan untuk “menegosiasikan” kembali beban utang Indonesia secara adil.

- Adanya upaya dari Koalisi Anti Utang menentang upaya penambahan utang baru dan mendesak pemerintahan SBY-JK untuk menegosiasikan penghapusan utang. Strategi pengelolaan utang pemerintah saat ini dengan melakukan reprofiling, debt swap, dan buyback tidak cukup signifikan untuk menyelesaikan masalah utang Indonesia. Apalagi dalam situasi pasar saat ini, melakukan restrukturisasi melalui mekanisme pasar akan membutuhkan biaya besar. "Desakan untuk melakukan penghapusan utang luar negeri melalui negosiasi dengan pihak kreditor yang telah lama disuarakan kini semakin relevan, terutama dalam situasi seperti saat ini. Melihat besarnya pinjaman luar negeri yang jatuh tempo sebesar US$6.485,07 juta (Depkeu, September 2008), kondisi cadangan devisa yang terus tergerus untuk menjaga nilai tukar rupiah bisa menjadikan dampak krisis menjadi lebih besar bagi Indonesia."

- Indonesia pada saat ini memiliki rekening valas yang terus dijaga keberadaannya untuk mengantisipasi utang luar negeri yang jatuh tempo."Kita masih punya rekening valas yang kita jaga, tapi kalau akhir tahun nanti dibutuhkan/dipakai, ya harus dicairkan, "Per 14 Nopember 2008, pencairan anggaran untuk pembayaran bunga utang luar negeri mencapai Rp 22,6 triliun atau sekitar 78 persen," kata Dirjen Perbendaharaan Depkeu, Herry Purnomo. Saat ini bangsa Indonesia tengah mengalami kondisi perekonomian yang cukup kondusif terbukti dengan adanya cadangan devisa Indonesia yang cukup kuat, yaitu mencapai US$ 42,2 miliar dan diprediksi akan mencapai US$ 43 miliar pada akhir tahun. Dengan demikian salah satu utang Indonesai, yaitu kepada IMF akan dapat dilunasi pada akhir 2006 ini. Juni lalu, BI telah membayar setengah utang kepada IMF sebesar US$ 3,7 miliar, dan sisa utang US$ 3,74 miliar atau sekitar Rp 33,66 triliun diperkirakan akan dibayarkan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir 2006 ini. Percepatan pembayaran utang ini berdampak positif bagi Indonesia dengan mengurangi beban pembayaran bunga di masa mendatang sebesar US$ 0,6 Miliar atau sekitar Rp 5,4 triliun. Selain itu, citra Indonesia juga semakin baik.

Jadi apa yang harus bangsa Indonesia lakukan melihat upaya-upaya yang telah pemerintah lakukan untuk menutupi utang luar negeri?

PANTASKAH kita menjadi miskin? Rasanya tidak. Kemiskinan kita hanya kamuflase dari keterpurukan mentalitas sebagai bagian dari pengembangan mitos pribumi malas. Sejak semula kita tidak dididik menjadi bangsa semut atau lebah, tetapi dididik menjadi bangsa kuli, atau nyamuk yang suka menghisap darah orang sambil menyebarkan penyakit menular bersama isapannya. Dalam bahasa lebih umum, kita bagian dari bangsa lintah (ingat istilah "lintah darat" yang populer di masyarakat) yang suka gendut mengisap darah korban, dan bekas gigitan itu terus-menerus meneteskan darah.

Pada intinya terjadinya utang luar negeri adalah kurangnya pengetahuan bangsa ini dalam mengelola Sumber Daya yang dimiliki Negara Indonesia. Kekayaan yang dimiliki banyak yang diserahkan kepada pemodal Asing yang jelas-jelas ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kesejahteraan mereka dan rakyat di negara mereka, sehingga wajar di negara ini terjadi kemiskinan yang akhirnya tercipta utang luar negeri yang pada mulanya bertujuan untuk memperbaiki keadaan perekonomian di Indonesia malah semakin menjerat rakyat Indonesia.

Sebagai masyarakat Indonesia apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi utang luar negeri yang menyengsarakan rakyat?

1. Berusaha terus menggali potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia agar bisa lebih produktif dan bisa bermanfaat

2. Terus berkreativitas dan memiliki semangat juang yang tangguh

3. Istiqomah dan terus berusaha

4. Berantas koruptor-koruptor yang menyengsarakan rakyat

PENUTUP

Demikianlah, pembahasan masalah utang luar luar negeri ini dilakukan dengan mengaitkan dimensi utang yang sudah menjadi jebakan (debt trap”) dalam kaitannya dengan anggaran publik dan ekonomi rakyat yang lebih luas. Utang yang besar telah menjadi beban anggaran, yang pada gilirannya menjadi beban publik, termasuk di dalamnya adalah ekonomi rakyat.